shinichi

shinichi
for the night

Minggu, 27 November 2011

Ijtihad

IJTIHAD
Hukum Islam senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman atau waktu. Dengan demikian Hukum Islam tidak bersifat statis dan tidak kaku, akan tetapi senantiasa diterapkan dalam segala keadaan dan kondisi masyarakat, kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Para Ulama sejak dahulu selalu berusaha mendalami hukum hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunah yang kadang-kadang di antara mereka terdapat perbedaan paham dan pendapat dalam menetapkan hukum yang mereka istimbatkan dari Al-Quran dan As-Sunah tersebut. Hal ini dikarenakan di antara ayat Al-Quran ataupun Hadits Nabi itu ada yang bersifat dzanni, sehingga memerlukan pemikiran dan usaha yang sungguh sungguh untuk dapat memahami nash-nash yang demikian.
Di samping itu seringkali para Ulama menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang belum pernah terjadi pada zaman Nabi dan belum ada ketetapan hukumnya. Dengan demikian mereka harus berusaha dengan segala daya serta kemampuannya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang ada dalam sumber-sumber pokoknya yaitu Al-Quran dan As-Sunah.
Usaha dan pemikiran yang sungguh-sungguh dari para Ulama untuk menetapkan hukum Islam inilah yang dikenal dengan sebutan “Ijtihad”, sedangkan para Ulama yang melakukannya disebut “Mujtahid”.
Berusaha mendalami hukum Islam memang merupakan sesuatu keharusan dalam ajaran Islam, dan orang yang melakukannya sudah barang tentu memperoleh derajat yang lebih tinggi disbanding kelompok lainnya.
Firman Allah :




Artinya :”Tidak sepatutnya bagi orang orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang) mengapa tidak pergi tiap tia golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah : 122)

A. Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, Ijtihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh; mengarjakan sesuatu dengan segala keteguhan. Menurut ilmu ushul fiqh, ijtihad identik dengan kata “istimbath” yang secara bahasa berarti mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya.
Ijtihad menurut istilah telah dirumuskan secara bervariasi oleh bebepara ulama. Antara lain ada yang menyatakan bahwa ijtihad adalah segala upaya yang dicurahkan mujtahid dalam berbagai bidang ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya (Kasuwi Saiban, 2005 : 42). Ada pula yang menyatakan bahwa ijtihad adalah mengerahkan semua potensi dan kemampuan semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum hukum syari’ah berdasarkan dalil-dalil syara (Depag RI, 1996 : 23).
Adapun menurut Ibrahim Hosen (1988 : 23) yang mendasarkan pengertian ijtihad pada praktek sahabat, menyatakan bahwa ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan Kitab Allah dan Sunnah Rosulullah saw., baik melalui suatu nash maupun melalui maksud dan tujuan umum hikmah syari’ah yang disebut maslahat. Sedangkan menurut mayoritas ulama ahli ushul, ijtihad ialah mengerahkan segenap kemampuan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dzani mengenai hukum syara.
Definisi tersebut memiliki relevansi dengan yang dikemukakan oleh Ahmad Azhar Basyir (1988 : 46) yang menyatakan bahwa Ijtihad adalah penggunaan akal fikiran semaksimal mungkin untuk memperoleh ketentuan hukum syara. Karena yang dicari adalah hukum syara’ maka yang melakukan ijtihad harus benar-benar muslim, kukuh aqidahnya, baik ibadahnya, dan mulia akhlaknya.

B. Hukum Ijtihad
1. Wajib ‘ain yaitu bagi seseorang mujtahid yang ditanya tentang masalah sedang masalah tersebut akan segera hilang (habis) bila tidak segera dijawab/diselesaikan. Demikian pula wajib ‘ain apabila masalah tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2. Wajib kifayah, yaitu bagi seseorang mujtahid yang ditanya tentang sesuatu masalah dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya masalah tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada mujtahid lain. Dalam situasi yang demikian apabila semuanya meninggalkan ijtihad, mereka berdosa.
3. Sunnat, yaitu ijtihad terhadap sesuatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi baik dinyatakan atau tidak.

C. Syarat Syarat Ijtihad
1. Memahami Al-Quran dan Al-Haditst. Kalau tidak memahami salah satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad. Hal ini menjadi syarat utama, karena ijtihad hanya boleh dilakukan apabila telah diketahui tidak ada penjelasan dari Al-Quran atau Al-Hadits. Baik tentang ayat ayat Al-Quran maupun hadits hadits tidak disyaratkan hafal, tetapi cukup apabila dibutuhkan dapat mencarinya dalam Al-Quran dan Kitab-kitab Hadits. Tentang hadits selain mengetahui keadaan perawi perawi hadits mana yang tercela dan mana yang tidak
2. Mengetahui hukum hukum yang ditetapkan dengan Ijma’ sehingg ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan Ijma’, kalau ia berpegang kepada Ijma dan memandangnya sebagai dalil.
3. Mengetahui serta memahami bahasa Arab, Mujtahid juga harus mengatahui lafadz-lafadz yang zhahir, mujmal, yang hakikat, yang majmaz. Am, khash, muhkam, mutasyabihat, mutlak, muqayad, mantuq, dan mufham. Semua ini perlu untuk memahami Al-Quran dan Al-Hadits.
4. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh dan harus menguasai ilmu ini dengan kuat, karena ilmu ini menjadi dasar dan pokok ijtihad. Hendaknya seorang mujtahid menguasai ilmu usuhl fiqh ini sehingga sampai kepada kebenaran, dengan demikian ia mudah mengambalikan soal soal cabang kepada soal soal pokoknya
5. Mengetahui nasikh dan mansukhsehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang sudak dimansukh.
6. Tingkatan Tingkatan Mujtahid
7. mujtahid mutlak, yaitu yang memiliki syarat syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam segala hukum dengan tidak terikat oleh sesuatu madzhab
8. mujtahid muntasib yaitu orang yang mempunyai sarat syarat iujtihad, tetapi menggabungkan dirinya kepada sesuatu madzhab karena mengikuti cara cara yang ditetapkan oleh imam madzhab tersebut dalam berijtihad.

D. Kebenaran Hasil Ijtihad.
Segolongan Ulama berpendapat bahwa semua mujtahid mencapai kebenaran dalam hasil berijtihadnya, menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i. Tidak semua mujtahid mencapai kebenaran dalam ijtihadnya tetapi ada yang mencapai kebenaran dan ada yang tidak. Sabda Rasululloh saw.
Artinya : “seorang hakim apabila berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala apabila ia berijtihad dan ternyata keliru (tidak mencapai kebenaran) maka ia mendapat satu pahala (HR. Bukhari )
Hadits tersebut menunjukan, bahwa kebenaran itu hanya satu. Sebagian mujtahid dapai mencapainya, maka ia dikatakan yang mencapai kebenaran dan ia akan mendapat dua pahala. Sebagian lagi tidak dapat mencapai kebenaran dan ia akan mendapat satu pahala; pahala ini karena ijtihadnya, bukan karena kekeliruannya.

E. Pendapat Para Ulama tentang Ijtihad Nabi dan Sahabat
Para Ulama sepakat bahwa nabi boleh berijtihad dalam masalah masalah yang berhubungan dengan soal dunia seperti dalam soal peperangan, perdamaian, menentukan startegi dan lain-lain. Adapun ijtihad Nabi dalam hukum hukum syari’ah, maka para ulama berbeda pendapat. Menurut golongan Asy’ari Nabi tidak berijtihad sebab ia terhindar dari kemungkinan salah, mengapa nabi boleh berijtihad padahal Nabi, terjamin dari kesalahan. Menurut golongan yang lain, nabi boleh berijtihad, dan kalaupun salah maka Allah akan memperbaiki kekeliruannya.
Adapun mengenai kebolehan para sahabat untuk berijtihad para Ulamapun berbeda pendapatnya. Pendapat yang kuat membolehkan para sahabat berijtihad baik dikala berdekatan dengan Nabi maupun di kala berjauhan dengan beliau. Nabi pernah berkata kepada ‘Amr Bin Ash : putuskan beberapa perkara. Amr bin Ash berkata : apakah saya boleh brijtihad sedang anda masih ada? Jawab Nabi : Ya, apabila tidak benar kamu mendapat satu pahala.




F. Cara melakukan ijtihad
Seseorang yang hendak berijtihad haruslah memperhatikan urutan urutan di bawah ini. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu dalil yang lebih tinggi tingkatannya, barulah ia boleh menggunakan dalil-dalil berikutnya.
Urutan tersebut adalah sebagai berikut
1. Dalil dalam bentuk :
a. Nash-nash Al_Quran
b. Hadits mutawattir
c. Hadits Ahad
d. Zhahir Al-Quran
e. Zhahir Hadits
2. Dalil mafhum
a. Mafhum Al-Quran
b. Mafhum Hadits
3. Perbuatan dan taqrir nabi
4. Qiyas
5. Bara’ah ashaliyah
Kalau ia menghadapi dalil-dalil yang berlawanan, hendaknya ditermpuh beberapa alternatif berikut :
1. Memadukan/mengkomproikan dalil dalil tersebut
2. Mentarjihkan (menguatkan salah satunya)
3. Menashkan yaitu dicari mana yang lebih dulu dan mana yang kemudian, yang lebih dahulu itulah yang dinashkan (tidak berlaku lagi)
4. Tawaqquf, yakni membiarkan atau tidak menggunakan dalil dalil yang bertentangan tersebut.
5. Menggunakan dalil yang lebih rendah tingkatannya

G. ITTIBA’
Menurut bahasa ittiba’ berarti mengikuti. Adapun menurut pengertian syara ittiba’ yaitu : menerima atau mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui sumber ataupun alasan pendapat tersebut.
Ittiba’ dalam agama diperintahkan, sebagaimana Firman allah :





Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (An Nahl :43)
Maksud ayat tersebut yakni, tanyakan kepada mereka dari ilmu mereka yang dari al-Quran dan hadits dan bukan dari pendapat mereka semata mata/. Dzikr dalam ayat diatas maksudnya adalah al-Quran dan hadits. Dengan demikian yang dimaksud Ahli Dzikr dalam ayat diatas yaitu Ahli Quran dan Ahli Hadits. Apabila mereka ditanya tentang sesuatu masalah hukum, maka jawablah : Allah menetapkan begini, atau dalam hadits disebutklan begitu, dan sebaginya.


H. TAKLID
1. Pengertian dan Penyebab Taklid
Yang dimaksud dengan taklid yaitu: mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil atau alasannya.
Kalau kita teliti dari kurang 90% umat Islam di Indonesia barangkali orang yang mengetahui isi Al-Quran dan Hadits tidak akan lebih dari 10 %. Sedangkan selebihnya yaitu kurang lebih 80% lagi adalah terdiri orang orang awam. Karena itu kita mesti berusaha bagaimana caranya agar jumlah mereka (orang awam) ini lama kelamaan menjadi berkurang karena mau tidak mau orang orang awam ini hanya bertaklid saja dalam masalah masalah agama, sedangkan bertaklid ini pada dasarnya dilarang kecuali dalam keadaan terpaksa.
Firman Allah :




Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu (pengetahuan) tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya (Al-Isra ayat 36)
Kalau taklid terpaksa harus dilakukan, maka hendaknya diperhatikan syarat syarat orang yang ditaklidi, indentitasnya, kualitas ilmunya serta kepatuhannya terhadap Al-Quran dan Sunnah Rasululloh saw. Haram hukumnya taklid kepada orang yang tidak memperdulikan Al-Quran dan As-Sunah, begitu pula taklid kepada orang yang tidak diketahui indentitas serta keahliannya dalam syariah Islam.

2. Syarat orang yang bertaklid:
Yang dibolehkan bertaklid ialah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syari’ah ia boleh mengikuti pendapat orang pandai dan boleh mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri hukum syari’ah. Maka ia harus berijtihad sendiri bila kesempatan dan waktunya masih cukup serta waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan hal hal lain (soal soal ibadat), maka menurut sebagian ulama boleh ia mengikuti pendapat orang pandai lainnya.

3. Syarat syarat Masalah yang Ditaklidi
Hukum terbagi kepada dua macam yaitu : Hukum akal dan Hukum Syara’. Dalam masalah hukum akal, tidak dibolekan taklid kepada orang lain, seperti mengetehui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sifatnya. Hal ini karena jalan untuk menetapkan hukum-hukum tersebut adalah akal, sedang setiap orang memiliki akal. Karea itu tidak ada gunanya bertaklid kepada orang lain.
Allah mencela dengan keras taklid soal-soal tersebut dengan firman Nya :





Artinya : Apabila dikatakan kepada mereka : “ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: “(tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapat dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk (Al-Baqoroh 170)
Taklid dalam masalah hukum syara’ dibedakan pada dua bagian, yaitu:
a. yang diketahui dengan pasti dari agama Islam, seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa, zakat dan Haji. Juga tentang haramnya zina, minuman keras, dan lain-lain. Dalam soal soal diatas, tidak boleh taklid, karena semua orang dapat mengetahuinya.
b. yang diketahui dengan jalan penyelidikan dan mencari dalil seperti soal-soal ibadah tertentu, dalam soal semacam ini dibolehkan taklid.
Pendapat para Imam yang empat dan Ulama lainnya tentang taqlid:
1. Imam Abu Hanifah berkata : Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan Hadits Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata.
2. Imam Malik berkata: saya hanya manusia biasa yang kadang kadang salah dan kadang kadang benar, selidikilah dahulu pendapat saya kalau sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits maka ambillah dan yang menyalahi hendaklah ditinggalkan
3. Imam Syafi’i berkata: Perumpaman orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang mencari kayu di waktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang mematuk sedang dia tidak tahu.
4. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Jangan mengikuti (taklid) kepada saya atau Malik atau Tsauri atau Auza’i tetapi ambillah dari mana mereka mengambil
5. Ibnu Ma’sud berkata: kamu jangan mentaklidi orang kalau dia Iman maka kamu beriman kalau ia kafir maka kamu kafir. Tidak ada tauladan dalam hal hal yang buruk.


I. TA’ADUL, TARJIH DAN TALFIQ
Ta’adul yaitu : mengadakan perbandingan diantara dua masalah yang mempunya alasan sama kuat, sehingga hukum tersebut sama-sama ditunjang oleh dalil (alasan) yang sama kuatnya.
Tarjih yaitu : menguatkan suatu alasan hukum atas hukum yang lain disebabkan terdapatnya alasan alasan yang lebih meyakinkan atau terdapat aspek aspek lain yang menunjang. Hal ini dimaksudkan agar hukum syari’ah yang berdasarkan dalil dalil zhani, bila terdapat perlawanan diantara dalil dalil tersebut, ketidak jelasan, ataupun terdapat aspek aspek lain yang memungkinkan diperjelas salah satunya, maka perlu ditarjihkan sehingga dalil atau alasan yang kuat itulah yang dipegangi.
Adapun Tarjih ini dasarnya adalah ijma sahabat dalam melaksanakan tarjih. Mereka memakai hadits yang diriwayatkan Aisyah yang menerangkan wajibnya mandi karena bertemu dua kelamin laki laki dan perempuan dan mereka meninggalkan hadits yang menerangkan bahwa Air itu hanya karena air (maksudnya wajibnya mandi itu bila terjadi persetubuhan yang mengeluarkan air mani). Yang ditarjihkan oleh para sahabat adalah hadits Aisyah yang menerangkan bahwa persetubuhan anatar laki laki dan perempuan itu mewajibkan mandi walaupun tidak keluar air mani.
Kalau ada dugaan yang berlawanan kemudian salah satunya lebih kuat maka dengan memakai dugaan yang lebih kuat itu menjadika kita ragu ragu menurut adat kebiasaan. Demikian pula dalam hukum hukum syari’ah kalau kita tidak mamakai yang lebih kuat tentu kita memakai yang lemah. Sedangkan pemakaian yang lemah dengan meninggalkan yang kuat tidak dapat diterima akal.
Tarjih harus dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, yakni dalil dalil yang berlawan itu setingkat atau sebanding kekuatannya seperti Al-Quran dengan Al-Quran, Al-Quran dengan Hadits mutawattir, hadits mutawatir dengan hadits mutawatir, hadits ahad dengan hadits ahad. Kalau tidak sama/sebanding kekuataanya seperti al-Quran dengan hadits ahad, maka tidak perlu ada tarjih lagi sebab yang lebih kuat sudah tentu Al-Quran dan inilah yang dipakai.
Sama hukumnya, dan bersatu pula dalam hal waktu, tempat, maudlu’ (subjek), mahmul (predikat) dan keseluruhan atau sebagian. Kalau berbeda waktu misalnya, jual beli sesudah adzan jum’at dilarang, diwaktu yang lain jual beli dibolehkan. Disini tidak ada perlawanan karena berbeda waktunya.
Macam tarjih adalah sesuai dengan macam perlawanan antara dalil dalil yang harus ditarjihkan menurut penelitian, macam macam perlawanan dalil itu ada 10 macam yaitu :

a. antara Al-Quran dengan Al-Quran
b. Antara Al-Quran dengan Hadits
c. Antara Al-Quran dengan Ijma’
d. Antara Al-Quran dengan Qiyas
e. Antara Hadits dengan Hadits
f. Antara Hadits dengan Ijma’
g. Antara Hadits dengan Qiyas
h. Antara Ijma’dengan Ijma’
i. Antara Ijma’ dan Qiyas
j. Antara Qiyas dengan Qiyas

Adapun yang dimaksud dengan talfiq menurut Ushul Fiqih ialah mengambil beberapa hukum sebagai dasar beramal dari berbagai madzhab atau pendapat yang berbeda. Dalam hal-hal tertentu talfiq dibenarkan sedangkan dalam hal yang lain tidak boleh dilakukan.
Talfiq tidak dibenarkan dalam ajaran syari’at, yakni bila penggabungan pendapat mengakibatkan batalnya amal. Dan dibenarkan sepanjang tidak membatalkan amaliah. Demikian pula perpindahan madzhab dalam masalah yang berbeda pendapat, dibenarkan.

J. FATWA
Hukum Islam mempunyai kemampuan bergerak sesuai dengan perkembangan dan kemajuan. Islam senantiasa menetapkan ketentuan dan kepastian hukum yang dapat digunakan untuk kepentingan Islam di segenap waktu dan tempat.
Para fuqoha berkewajiban memberikan nasihat, pendapat tentang suatu masalah, baik diminta maupun tidak diminta, karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk dakwah dan amar ma’ruf nahyil munkar. Landasannya adalah Q.S. An-Nahl ayat 43 “tanyakanlah kepada ahli dzikir, jika kamu tidak mengetahui”. Dan secara logis dipahami bahwa setiap masalah wajib ada ketentuan hukumnya.
Setiap orang berhak menerima fatwa dari orang yang berkompeten dalam bidangnya.

K. ISTIHSAN
1. Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik terhadap sesuatu. Istihsan menurut istilah ahli Ushul Fiqih adalah meninggalkan qiyas jali (Qiyas yang nyata) untuk berpindah kepada qiyas khafi (Qiyas yang samar-samar) atau meninggalkan hukum kuli untuk berpindah kepada hukum juz’i atau hukum istisna’i (pengecualian) disebabkan terdapat dalil yang membenarkan kepindahan menurut logika.
Jika seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa tetapi tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, maka seorang mujtahid ini menggunakan Qiyas untuk mengetahui hukum tentang peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya. Di dalam menetapkan hukum menurut istihsan ialah menggunakan Qiyas yang samar-samar dengan meninggalkan qiyas yang nyata. Demikian juga seorang mujtahid menemukan satu peristiwa, ia dalam menetapkan hukum itu menggunakan dalil ististnai dan meninggalkan dalil yang bersifat kuli. Kedua cara yang ditempuh oleh mujtahid itu disebabkan karena terdapat kebaikan yang dapat diterima oleh logika.




2. Macam-macam Istihsan
Berdasarkan pengertiannya,istihsan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu istihsan yang mengutamakan qiyas khafi dari pada qiyas jali. Contoh :
Apabila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian maka menurut qiyas hak-hak yang bersangkutan dengan tanah itu seperti pengairan dan lorong-lorong di atas tanah tersebut tidak termasuk yang diwaqafkannya jika tidak disebutkan pada waktu penyerahan tanah waqaf itu. Menurut istihsan jika seseorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian maka hak-hak yang bersangkutan dengan tanah itu seperti pengairan dan hal-hal yang berkaitan dengan tanah itu termasuk di dalam pengertian waqaf secara langsung. Adapun segi istihsannya ialah bahwa tujuan berwaqaf itu ialah untuk memberikan manfa’at sesuatu benda yang diwaqafkan kepada yang diberi waqaf.
Sisa minuman dari burung-burung yang buas seperti burung rajawali burung elang dan sebagainya menurut istihsan adalah suci, jika sisa minuman dari burung-burung yang diharamkan dagingnya adalah najis karena diqiyaskan dengan sisa minuman dari binatang-binatang buas seperti singa, harimau, serigala dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena hukum sisa minuman dari binatang-binatang buas itu mengkuti kepada hukum dagingnya yaitu haram sehingga minuman sisa binatang-binatang itu menjadi najis
Dalam hal ini seorang mujtahid tidak menggunakan qiyas jalli yaitu qiyas sisa munuman burung-burung buas kepada sisa minuman binatang buas; tetapi berpindah kepada qiyas khafi yaitu mengkiyaskan paru burung-burung buas itu dengan tulang. Tulang jika menjadi air, maka air yang terkena tulang itu tidak menjadi najis. Demikian juga air sisa burung-burung buas itu meminumnya melalui paruh yang dapat diqiyaskan dengan tulang.
Meninggalkan hukum kulli untuk beralih kepada hukum istihsan. Contoh :
Menurut hukum kulli (prinsip secara umum), syara’ melarang memeperjualbelikan barang-barang yang belum yang belum ada pada saat aqad terjadi. Tetapi menurtu hukum ististanai menjalankan salam (jual beli dengan pembayaran terlebih dahulu tetapi benda yang dijual belikan dikirim kemudian) menurut istihsan diperbolehkan. Hal ini disebabkan karena ada sesuatu yang dianggap membawa kebaikan dalam kehidupan. Hukum kulli menetapkan tidak sah menjalankan jual beli dengan cara salam, tetapi menurut hukum istitsnai jual beli secara salam ini dibenarkan menurut istihsan.
Seseorang yang ditahan untuk membelanjakan hartanya karena pemboros menurut hukum kulli tidak sah menjalankan transaksi. Tetapi menurtu istihsan seseorang yang beramal sosial dari hartanya sendiri diperbolehkan karena terdapat kebaikan di dalam pelaksanaan beramal sosial daris eseorang yang ditahan untuk mentasharufkan hartanya karena pemboros.

3. Kehujjahan Istihsan
Pada dasarnya istihsan ini tidak berdiri sendiri sebagai sumber hukum tetapi termasuk di dakam qiyas, atau merupakan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli. Hal ini disebabkan karena mengandung kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Para ulama yang berpegang kepada istihsan sebagai sumber hukum kebanyakan alasan sebagai berikut : Menetapkan dalil dengan istihsan sebenarnya adalah penggunaan qiyas khafi dengan mengalahkan qiyas jali atau mengecualikan suatu hukum dari hukum kulli karena kedua usaha ini mengandung masalah-masalah dan usaha menetapkan dali dengan dua cara seperti ini adalah termasuk usaha yang shahih. Selain usaha-usaha Hanafiyah maupun fuqoha Malikiyah baru memakai dalil istihsan apabila penerapan hukum berdasarkan qiyas jali itu mengakibatkan kejanggalan dan ketidakadilan. Menurut Imam Syafi’i istihsan itu adalah berarti menetapkan suatu hukum syara’ menurut kemauan hawa nafsu. Letak perbedaan antara ulama yang pro dan kontra terhadap istihsan ialah pemahamannya terhadap ungkapan istihsan sendiri. Bagi yang kontra terhadap istihsan menganggap bahwa istihsan itu adalah usaha untuk menetapkan hukum tanpa dasar yang kuat hanya semata-mata didasarkan kepada hawa nafsunya. Padahal sebenarnya dimaksud dengan istihsan itu adalah sah untuk mendapatkan kemaslahatan dalam kehidupan.

L. ISTISHHAB
1. Pengertian Istishhab
Istishhab menurut bahasa artinya pengakuan terhadap hubungan pernikahan. Menurut istilah ulama Ushul Fiqih istishhab ialah menetapakan sesuatu berdasarkan keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan tersebut. Atau menurut ibarat lain istishhab ialah menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa yang lalu secara abadi berdasarkan keadaan hingga terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan. Contoh : Amin menikahi Aminah secara sah. Setelah itu Amin meninggalkan istrinya tanpa proses perceraian yang saha. Dalam keadaan Aminah ditinggalkan oleh suaminya ada seorang yang ingin menikahi Aminah bernama Ahmad. Keinginan Ahmad untuk menikahi Aminah tidak dapat dilangsungkan karena Aminah menurut status hukumnya adalah istri dari Amin. Selama tidak ada bukti bahwa Aminah telah dicerai oleh Amin maka status Aminah tetap sebagai istri Amin.
2. Macam-macam Istishhab
Istishhab ada dua macam. Pertama : Istishhab kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau bara atul ahsliyah (kemurnian menurut aslinya). Contoh :
a. Setiap makanan dan minuman yang tidak ditetapkan oleh suatu dalil yang mengharamkannya adalah mubah hukumnya. Hal ini disebabkan karena Allah SWT menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi ini dapat dimanfa’atkan oleh seluruh manusia
b. Ketetapan tidak wajib menjalankan shalat fardh 5 kali dalam sehari semalam adalah berdasarkan istishhab kepada hukum akal dengan bara-atul ashliyah (bebas menurut aslinya). Hal ini disebbakan karena tidak ada dalil yang menetapkannya.
Kedua, Istishhab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalil yang mengubahnya.
Contoh : Hukum-hukum yang diciptakan oleh syar’i berdasarkan sebab-sebab tertentu. Oleh karena itu apabila sebab-sebab itu dengan yakin maka tercipatalah suatu hukum dan hukum itu terus berlaku sampai ada suatu dalil yang membatalkannya. Dalam suatu contoh yang lebih nyata apabila ada seserang yang berwudlu, kemudian ragu apakah sudah bata atau belum, maka ia dihukum sebagai orang yang masih dalam keadaan berwudlu berdasarkan istishhab terhadap hukum suatu peristiwa yang mendahuluinya. Pada umumnya orang Ushul Fiqih berpendapat bahwa istishhab merupakan tempat fatwa yang berakhir untuk mengetahui sesuatu berdasrkan hukum yang telah ditetapkan selama tidak terdapat dalil yange mengubahnya. Hal ini merupakan metode di dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan manusia pada penetapan hukum mereka. Sebagai contoh serang yang bepergian dengan tisak diketahui kabar beritanya apakah dia masih hidup atau sudah meninggal dan tidak diketahui pula tinggalnya, orang seperti ini secara hukum ia ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan keadaan semual sewaktu ia bepergian sampai ada bukti yang menunjukkan kematiannya.

M. MASHALIHUL MURSALAH
1. Pengertian Mashalihul Mursalah
Yang dimaksud dengan mashalihul mursalah ialah suatu kemaslahatan yang ditetapkan oleh syara’ dalam rangka menciptakan kemaslahatan di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkannya. Mashlahah seperti ini disebut dengan mashalahat mutlak karena tidak terkait oleh dalil yang menyatakan benar atau salah. Adapun mashlahah yang ditetapkan oleh dalil syara’ disebut dngan mashlahah mu’tabarah. Contoh mashlahah mursalah ialah kemaslahatan yang dilaksnakan oleh para sahabat di dalam mengisyaratkan adanya penjara, dicetaknya mata uang, ditetapkanya pajak penghasilan dan kemaslahatan-kemaslahatan yang lain yang diadakan berdasarkan keperluan dalam kehidupan.
Adapun contoh mashlahah mu’tabarah yaitu mashlahah dalam pemeliharaan kehidupan ummat manusia berupa hukum qishas, hukum potong tangan bagi pencuri yang sudah sampai kepada nisab atau dera bagi orang yang zina serta hukum-hukum lain yang telah ditetapkan berdasarkan dalil nash. Sedangkan mashlahah yang tidak terdapat dalam nash-nash syara’ inilah yang disebut dengan mashlahah mursalah.
Contoh lain yang dapat dikemukakan ialah seseorang yang mengadakan transaksi jual beli untuk dinyatakan dengan tidak tercatat, tidak dapat dipakai dasar untuk menyatakan bahwa jual-beli itu tidak sah berdasarkan kepada mashlahah.

2. Kehujjahan Mashlahah Mursalah
Jumhur ulama menetapkan bahwa mashalah mursalah itu adalah sebagai dalil syara’ yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu hukum berdasarkan alasan sebagai berikut:
a. kemaslahatan manusia itu berkembang dan bertambah terus, mengikuti perkembangan kebutuhan manusia. Seandainya kemaslahatan ini hanya mempedomani kepada kemaslahatan yang terdapat pada nash saja maka ada kemungkinan pada periode tertentu akan mengalami kekosongan hukum, dan dengan demikian hukum Islam tidak dapat mengikuti perkembangan kemaslahatan manusia. Padahal tujuan hukum Islam ialah untuk menciptakan kemaslahatan manusia pada semua tempat dan waktu.
b. Menurut penelitian bahwa hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang diproduksi oleh para sahabat tabi’in dan imam-imam mujtahid adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Kalau sesudah periode itu tidak ada lagi produk kemaslahatan maka keadaan umat setelah periode ini akan menemui kesulitan dalam menghadapi kehidupan.

3. Syarat-syarat Berhujjah dengan Maslahah Mursalah
Untuk menjadikan mashlahah mursalah sebagai hujjah harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut :
a. Mashlahah tersebut haruslah mashlahah yang haqiqi bukan hanya berdasarkan kepada perkiraan saja. Jadi mashlalah ini adalah mashlahah yang benar-benar dapat membawa manfaat dan dapat menolak kemudharatan.
b. Kemashlahatan itu hendaklah kemashlahatan yang umum bukan kemashlahatan yang khusus untuk seseorang. Oleh karena itu kemashlahatan itu harus dimanfa’atkan oleh orang banyak atau dapat menolak kemadharatan yang menimpa orang banyak.
c. Kemashlahatan itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar yang telah digariskan oleh nash atau ijma’.

N. ‘URF (ADAT KEBIASAAN)
1. Pengertian ‘Urf
‘Urf (adat kebiasaan) adalah segala sesuatu yang sudah saling dikenal di antara manusia dan telah dibiasakan oleh mereka dan dijalankan secara terus menerus baik berupa perkataan atau perbuatan. Contoh ‘urf dalam bentuk perkataan, misalnya perkataan ”walad” (anak) menurut bahasa sehari-hari hanya anak laki-laki yang termasuk dalam perkataan walad. Contoh yang lain perkataan “lahm” (daging) dalam pembicaraan sehari-hari tidak termasuk daging ikan.
Contoh ‘urf yang berupa perbuatan (‘urf amali) seperti jual beli dengan cara pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas benda yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab qabul karena harga barang tersebut sudah dimaklumi bersama.
‘Urf berbeda dengan ijma’ karena ‘urf itu terjadi berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang dialami oleh orang-orang yang berbeda tingkatan pemahaman terhadap hukum Islam. Sedang ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat khusus dari kalangan para mujtahid. Dalam ijma’ ini orang-orang umum tidak ikut membentuk ijma’.

2. Macam-macam ‘Urf
‘Urf ada 2 macam, yaitu ‘urf shahih (benar) ‘urf fasid (rusak). ‘Urf shahih ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang dan adat kebiasaan itu tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak membatalkan yang wajib. Hal ini dapat dicontohkan seperti adat kebiasaan dalam dunia perdagangan dengan pembelian secara indent (Pembelian dengan cara memberikan pembayaran terlebih dahulu sedangkan benda yang dibeli akan dterima oleh pembeli dalam waktu kemudian). Adat kebiasaan shahih juga dapat dicontohkan seperti pembayaran mahar secara kontan atau hutang, kebiasaan seseorang melamar dengan memberikan sesuatu kepada pihak perempuan sebagai hadiah dan bukan sebagai mahar. Masih banyak adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
‘Urf fasid ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang dan adat kebiasaan itu bertentangan dengan syari’at, mungkin karena membawa kepada menghalakan yang haram atau membatalkan yang wajib. Adat kebiasaan fasid dapat dicontohkan seperti mengandung unsur syirik atau kebiasaan-kebiasaan yang diiringi dengan minum-minuman yang haram, dan sebagainya.

3. Kedudukan ‘Urf
a. ‘urf shahih dipelihara oleh mujtahid, di dalam menciptakan hukum-hukum Islam dan oleh hakim dalam memutuskan perkara yang diajukan oleh masyarakat. Adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat merupakang kebutuhan dan menjadi mashlahat di kalangan masyarakat itu. Selama itu tidak bertentangan dengan syari’at hendaknya kebiasaan itu tetap dipeliharanya. Dalam hal ini para ulama ahli Ushul Fiqih mencipatakan kaidah yang berbunyi (adat kebiasaan itu meupakan syar’at yang ditetapkan sebagai hukum).
b. ‘urf fasid tidak perlu diperhatikan dan dipertahankan karena mempertahankan ‘urf fasid berarti menentang dalil syara’ atau membatalkannya. Oleh sebab itu kebiasaan mengadakan transaksi jual beli mengandung riba atau kebiasaan lain menghalalkan transaksi itu. Hanya saja transaksi seperti itu dapat ditinjau dari segi lain, misalnya transaksi yang sangat dibutuhkan, atau dari segi darurat baru transaksi itu dibolehkan untuk mengerjakannya. Jadi transaksi jual beli yang mengandung riba dibolehkan karena alasan darurat bukan karena sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh orang banyak.

O. SYAR’U MAN QABLANA (Syari’at Sebelum Kita)
Apabila Al-Quran atau Hadits Shahih menerangkan tentang suatu hukum yang diisyaratkan oleh Allah SWT kepada ummat sebelum Islam, kemudian Al-Quran atau hadits tersebut menetapkan bahwa ulama sepakat bahwa hukum itu adalah merupakan syari’at bagi kita sebagai hukum yang harus diikuti. Hal ini dapat dicontohkan seperti kewajiban puasa yang diwajibkan bagi ummat sebelum Islam dan juga bagi kita selaku ummat Islam.


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Al-Baqarah : 183)
Demikian juga jika Al-Quran atau Hadits shahih menerangkan tentang suatu hukum yang disyari’atkan bagi ummat terdahulu kemudian hukum itu disusul oleh dalil syara’ yang membatalkannya maka para ulama juga sepakat bahwa hukum itu bukanlah merupakan hukum syara’ bagi kita. Hal ini dapat dicontohkan seperti syari’at yang berlaku pada zaman Nabi Musa A.S., bahwa seseorang berbuat maksiat tidak dapat diampuni dosanya kecuali ia membunuh dirinya. Demikian juga pakaian yang terkena najis tidak dapat disucikan kembali sebelum dipotong bagian yang terkena najis itu.
Dalil yang membatalkan cara-cara taubat yang dilakukan oleh ummat Nabi Musa AS antara lain ialah firman Allah SWT :


Artinya : dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.(Hud : 3)
Taubat menurut syari’at Islam harus memenuhi tiga syarat yaitu berhenti dari berbuat ma’siat, menyesali perbuatan ma’siat yang dikerjakan dan berniat tidak akan mengulangi lagi perbuatan ma’siat itu.
Adapun dalil yang membatalkan cara membersihkan pakaian yang terkena najis bagi kamu Nabi Musa ialah Firman Allah SWT.


Artinya : dan pakaianmu bersihkanlah, (Al-Mudatsir : 4)
Hukum yang diterangkan oleh Allah dan Rasulnya dan tidak ada nash yang menunjukkan bahwa hal itu wajab bagi kita sebagaimana diwajibkan juga kepada mereka atau diperselisihkan oleh para ulama. Allah SWT berfirman sebagai berikut :





Artinya : Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (Al-Maidah : 32
Allah SWT berfirman :




Artinya : Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya (Al-Maidah :45)
Dalam hal ini menurut kebanyakan ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syari’at yang ditetapkan untuk ummat Bani Israil juga berlaku bagi ummat Islam karena ayat ini tidak dinashahkan oleh dalil lain. Dengan demikian maka orang Islam yang membunuh kafir dzimmi atau orang laki-laki yang membunuh perempuan harus dihukum qishas sebagaiman hukum yang berlaku bagi orang-orang Bani Israil. Menurut ayat ini bagi orang yang membunuh orang lain harus dibunuh juga, dengan tidak membedakan antara muslim dan kafir dan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa syari’at yang berlaku untuk ummat terdahulu tidak berlaku bagi ummat Islam sekarang ini. Hal ini disebabkan karena syari’at yang berlaku bagi umat kita sekarang ini telah menashahkan (membatalkan) syari’at yang telah ditetapkan bagi ummat sebelum kita, kecuali ada dalil yang menetapkan bahwa syari’at itu juga berlaku bagi kita.

P. SADDUDZ DZARAI’
1. Pengertian
Saddudz Dzarai’ ialah menutup pintu-pintu (melarang perkara-perkara) yang menurut dzhairnya adalah mubah tetapi perkara itu menjadi pendorong untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara’.

2. Kedudukan Saddudz Dzarai’
Imam Malik menetapkan adanya Saddudz Dzarai’ sedang kebanyakan ulama yang lain tidak menetapkannya. Menurut Imam Malik bahawa hal-hal yang mudah itu harus dilarang kalau memang benar-benar membuka jalan ke arah ma’siat. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal yang mudah itu tidak boleh dilarang karena hukum ashalnya ialah mubah. Adapun alasan bagi ulama melarang yang mubah karna akan membuka jalan kearah ma’siat ialah hadits sebagaimana berikut ini : Artinya : “Tinggalkan apa yang meragukan padamu kepada yang tidak meragukan.” (HR. Tirmidzi).
Hadits lain menyatakan sebagai berikut : Artinya : “Siapa yang berputar-putar di sekitar larangan-larangan Tuhan ia akan jautuh di dalamnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Agar seorang tidak terjatuh di dalam satu larangan hendakalah menjauhkan diri dari larangan itu.

Q. MASDZHAB SHAHABI
Yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah perkataan para sahabat Nabi yang bukan berdasarkan kepada pemikiran semata-mata adalah menjadi hujjah bagi ummat Islam. Yang demikian karena apa yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Hal ini dapat dicontohkan seperti perkataan Aisyah r.a. :
Artinya : “Kandungan itu tidak berdiam diri dalam perut ibunya lebih panjang bergesernya bayang-bayang benda yang ditancapkan dari dua tahun”. (HR Ad-Daruqthni)
Menurut keterangan Aisyah ra. Ini bahwa waktu mengandung maksimal adalah dua tahun tidak lebih sedikitpun. Pendapat ini tidaklah semata-mata hasil ijtihad atau penyelidikan yang dilakukan oleh Aisyah ra. Dengan demikian keterangan ini bersumber dari yang didengarnya dari Rasulullah SAW, meskipun secara lahiriyah pendapat ini diungkapkan oleh Aisyah ra. Demikian juga perkataan shahabat yang lain adalah menjadi hujjah bagi orang Islam. Dalam hal ini disebabkan persesuaian antara para sahabat dalam suatu masalah pada masa mereka hidup masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW. Pengetahuan para sahabat yang mendalam mengenai rahasia-rahasia syari’ah itu adalah menjadi bukti berdasarkan kepada dalil yang qoth’i dari Rasulullah SAW. Hal ini dapat dicontohakan seperti keputusan khalifah Abu Bakar ra mengenai beberapa orang nenek yang mewariskan bersama-sama mendapatkan seperenam harta peninggalan yang dibagikan kepada mereka secara merata. Dalam hal ini tidak seorang sahabat pun yang bereaksi atas keputusan Khalifah Abu Bakar ini.
Adapun perkataan para sahabat yang semata-mata berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri hal ini masih diperselisihkan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah beserta rekan-rekannya berpendapat bahwa perkataan sahabat ini dapat dijadikan sebagai hujjah. Selanjutnya Imam Abu Hanifah berkata : “Apabila aku tidak mendapat ketentuan dari kitab Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW maka aku meninggalkan pendapat sahabat lain yang tidak kukehendaki. Aku tidak mau keluar dari pendapat para sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain pendapat sahabat”. Perkataan Imam Abu Hanifah membolehkan mengambil pendapat salah seorang sahabat. Dalam hal ini Imam Abu Hanifah tidak mengambil qiyas selama masih ada fatwa dari shahabat, biarpun yang diambil hanya pendapat salah seorang saja yang dikehendaki.
Imam Syafi’i tidak sependapat, jika pendapat salah seorang sahabat itu menjadi hujah. Imam Syafi’i membolehkan melawan pendapat seluruh sahabat untuk berijtihad menetapkan pendapat para sahabat itu tidak lain adalah kumpulan ijtihad perorangan yang tidak luput dari kesalahan. Seorang sahabat dapat berpendapat berbeda dengan sahabat-sahabat yang lain, maka para mujtahid setelah sahabatpun demikian juga halnya. Oleh sebab itu Imam Syafi’i berpendapat : “Menetapkan hukum atau memberi fatwa tidak boleh selain berdasarkan dengan dasar yang kuat yaitu Al-Kitab, Al-Hadits, pendapat para ahli yang tidak diperselisihkan atau qiyas kepada salah satu yang telah disebutkan.
R. DILALAH IQTIRAN
1. Pengertian
Dilalah Iqtiran ialah apabila ada suatu dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu sama hukumnya dengan yang lain karena kedua-duanya disebut bersama-sama dalam dalil itu juga. Iqtiran artinya bersama-sama (berbarengan).

2. Pendapat Ulama tentang Dilalah Iqtiran
Sebagian golongan Hanafiyah dan sebagian golongan Syafi’iyah serta Malikiyah menggunakan dilalah iqtiran. Jumhur ulama tidak membenarkan menetapkan hukum dengan dilalah iqtiran. Misalnya kuda tidak wajib dizakati sebagaimana keledai juga tidak wajib dizakati., karena keduanya disebutkan bersama-sama dalam satu ayat sebagaiman Firman Allah SWT berikut ini


Artinya : dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (An-Nahl : 8) Jika keledai tidak wajib dizakati maka kudapun tidak wajib dizakati juga. Dalam hal ini wau athaf menunjukkan bersekutu (berbarengan) tentu saja bersekutu di dalam hukumnya. Kalau yang satu wajib yang lainnya juga wajib. Bagi yang berpendapat bahwa dilalah iqtiran tidak dapat dijadikan sebagai hujjah bahwa dua hal yang hukumnya sama yang disebutkan secara berbarengan bukan karena dilalah iqtiran tapi semata-mata karena keduanya itu mempunyai illat yang sama. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT sebagi berikut :
Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, (Al-Fath : 29)
Ayat ini menerangkan bahwa Muhammad SAW adalah Rasul Allah sedangkan orang-orang yang besertanya bukan Rasul, mereka ini keras terhadap orang-orang kafir, dan berkasih saying antara sesamanya

Ijtihad adalah segala upaya yang dicurahkan mujtahid dalam menetapkan sesuatu hal pada berbagai bidang ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya yang dilandasi dengan dalil-dalil syar’i (Al-Quran dan As-Sunnah).
Ijtihad dapat dikatakan sebagai inti dinamika hukum Islam. Kegiatan ijtihad dapat dilakukan dengan bayani maupun ra’yi. Ijtihad bayani adalah penggalian hukum Islam dengan menganalisis lafadz-lafadz yang digunakan sebagai dalil, melalui pendekatan bahasa.
Ijtihad al-Ra’yi dilakukan dengan menggunakan akal fikiran, baik dengan mengqiyaskan, istihsan, istishab, maslahah maupun yang lainnya.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya, memahami masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan mengetahui ushul fiqh. Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib.
Pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.
Dalam realitasnya, tidak semua umat Islam memenuhi syarat untuk berijtihad, sebagiannya melakukan ittiba, bahkan tidak sedikit yang taqlid, meskipun secara qathi’, taqlid dalam masalah-masalah yang dapat diketahui dengan akal tidak dibenarkan, demikian pula taqlid dalam masalah-masalah ibadah khas.
Sebagai hasil ijtihad ada yang disebut ijma, qiyas, dan fatwa. Dikalangan ummat Islam ada yang beramal dengan talfiq, yakni mengambil yang ringan-ringan tentang hukum sesuatu dari berbagai madzhab. Jika hal itu dilakukan pada perbuatan yang dapat mengakibatkan batalnya amal, maka talfiq tidak dibenarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar